Oleh Sayidiman Suryohadiprojo, Letjen TNI (Purn)
Makalah dipresentasikan dalam Seminar TNI di SESKOAD pada tanggal 20 September 2008
Pendahuluan
Bangsa Indonesia yang hidup dalam NKRI dengan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa, tidak akan mulai berperang dan menyerang bangsa lain. Akan tetapi kalau diserang, bangsa Indonesia akan membela kemerdekaan dan kedaulatan negara dan bangsanya sampai akhir dengan semboyan Kita Cinta Damai tetapi lebih Cinta Kemerdekaan.
Bangsa Indonesia akan selalu memelihara hubungan yang bersahabat dengan seluruh bangsa di dunia sambil mengusahakan kepentingan nasionalnya. Sesuai dengan UUD 1945 bangsa Indonesia selalu berpihak kepada perjuangan untuk menjamin dan memelihara perdamaian dunia dan kesejahteraan umat manusia.
Tidak mustahil sikap dan perjuangan bangsa Indonesia kurang disukai bangsa lain. Maka kepentingan bangsa Indonesia dapat berbeda dan mungkin bertentangan dengan kepentingan bangsa itu. Bahkan tidak mustahil bangsa lain itu sesuai dengan kepentingannya, berniat untuk menguasai Indonesia yang banyak potensi kekayaan alamnya serta mempunyai posisi geostrategi yang amat penting.
Meskipun demikian bangsa Indonesia akan selalu mengusahakan agar perbedaan dan pertentangan kepentingan itu dapat diatasi dan diselesaikan dengan cara damai, yaitu dengan menempuh diplomasi.
Namun tidak mustahil bahwa bangsa lain yang berbeda kepentingan tidak puas dengan hasil diplomasi itu. Mungkin ia akan meninggalkan cara damai dalam mengatasi pertentangan dan beralih kepada penggunaan cara permusuhan atau perang, baik perang yang bersifat terbuka atau yang bersifat tertutup seperti perang teror dan perang intelijen.
Kalau hal demikian terjadi bangsa Indonesia harus menghadapi ancaman itu dengan kemampuan yang memadai.
Untuk itulah bangsa Indonesia harus siap dan mampu melakukan Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta. Hanya cara pertahanan itu yang dapat memberikan jaminan maksimal untuk memelihara kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Sebab itu hal ini dimuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 fasal 30. Seluruh rakyat Indonesia ikutserta membangun Daya Tangkal dan Daya Pelaksanaan Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta yang sebaik-baiknya.
Sekarang ada orang-orang yang meniadakan kemampuan pertahanan tersebut dengan menyatakan bahwa yang dijalankan bangsa Indonesia adalah Sistem Pertahanan Semesta tanpa menegaskan peran Rakyat. Mereka berhasil memasukkan itu dalam Undang-Undang no 3 tahun 2002. Padahal Pertahanan Semesta belum tentu Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta. Memang Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta termasuk Pertahanan Semesta, tetapi Pertahanan Semesta belum tentu Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta. Dengan begitu UU no3/2002 bertentangan dengan induknya UUD 1945.
Kebanyakan negara di dunia sejak permulaan Abad 20 menyiapkan diri untuk menjalankan Pertahanan Semesta (total defense) kalau berperang, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Akan tetapi mereka tidak menjalankan Pertahanan Rakyat Semesta (total people’s defense). Jadi kalau Indonesia menjalankan UU 3 th 2002, maka itu tidak hanya bertentangan dengan UUD 1945 tetapi juga amat membatasi kemampuan pertahanannya. Indonesia tidak akan dapat memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda dan negara lain dengan menjalankan Pertahanan Semesta. Demikian pula Vietnam tidak akan dapat mengalahkan Perancis dan Amerika Serikat dengan Pertahanan Semesta.
Ada orang mengatakan bahwa Pertahanan Keamanan Rakyat harus diganti dengan Pertahanan Semesta karena harus dibedakan antara TNI sebagai kombatan dan Rakyat sebagai non-kombatan. Orang yang mengatakan itu, atau tidak memahami perkembangan sejarah perang sejak permulaan abad ke 20 , atau sengaja hendak membuat Indonesia terbatas kemampuan pertahanannya. Sejak umat manusia dibawa dalam keadaan Perang Semesta pengertian kombatan sudah amat kabur. Kalau Rakyat masih dianggap non-kombatan, maka ia tidak berhak untuk melawan ketika ia menjadi sasaran penghancuran perlawanan oleh lawan bangsanya. Padahal tidak hanya segala macam pemboman udara dengan puncaknya pemboman dengan bom atom di Hiroshima, tetapi juga dalam tindakan perang lainnya tidak hanya angkatan bersenjata yang menjadi sasaran, melainkan juga rakyat. Sekalipun itu disebut sebagai collateral damage atau kerusakan tidak sengaja. Memang sejak permulaan abad ke 20 sudah amat sukar memperlakukan Hukum Perang (laws of war) sebagai bagian Hukum Internasional. Sehingga nampaknya Hukum Perang hanya dikenakan kepada pihak yang lemah dan kalah. Buktinya sejak melakukan serangan bom atom di Jepang sampai mengadakan pre-emptive attack di Irak pada tahun 2003, AS tidak pernah dikenakan sanksi Hukum Perang. Padahal perbuatan itu semua dilarang oleh Hukum Perang. Itulah bukti betapa sekarang soal kombatan amat kabur. Orang-orang yang menyatakan Rakyat non-kombatan tidak pernah mengalami ketika tentara Belanda secara terang-terangan membakar desa-desa di Jawa ketika melakukan agressinya. Sebab itu adalah amat absurd kalau bangsa Indonesia meninggalkan Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta dalam menghadapi masa depan. Orang-orang itu juga selalu berusaha untuk meniadakan organisasi Territorial TNI, padahal organisasi itu amat penting untuk melakukan pertahanan keamanan rakyat semesta.
Melihat cara-cara serangan yang dapat digunakan penyerang untuk mengancam Indonesia, maka Pertahanan Rakyat Semesta harus menyiapkan berbagai kemampuan. Untuk Itu Pemerintah RI mengembangkan pemerintahan yang efektif serta membangun TNI, Polri, aparat Intelijen serta Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung Hankamrata.
Komponen Cadangan
Komponen Cadangan merupakan salah satu bentuk partisipasi Rakyat secara aktif dalam pertahanan. Untuk melakukan Pertahanan Rakyat Semesta secara efektif perlu ada Komponen Cadangan TNI. Komponen Cadangan diperlukan untuk dapat menjadikan TNI mempunyai kekuatan memadai ketika terjadi serangan Agressor. Sebelum ada serangan terbuka Agressor kekuatan TNI dibatasi pada kekuatan minimal efektif untuk menghemat penggunaan sumberdaya. Yang dimaksudkan dengan kekuatan minimal efektif adalah kekuatan TNI yang terbatas tetapi masih memungkinkan TNI menjalankan fungsinya secara efektif dalam kondisi damai relatif. Ketika Agressor melakukan serangan terbuka kekuatan TNI harus berkembang jauh lebih besar untuk dapat menghadapi serangan Agressor tersebut. Itu dilakukan melalui mobilisasi Komponen Cadangan. Itu berarti bahwa anggota Komponen Cadangan yang semula berstatus sipil berubah menjadi status militer.
Dalam mobilisasi, Komponen Cadangan yang telah terbentuk sebelumnya diaktifkan untuk memperkuat TNI sesuai dengan rencana yang telah ada. Komponen Cadangan terbentuk dari semua warga negara RI yang telah selesai menjalankan tugas militer dalam lingkungan TNI, baik sebagai militer sukarela (milsuk) maupun sebagai militer wajib (milwa) dan memenuhi syarat sesuai ketentuan Undang-Undang tentang Komponen Cadangan. Karena mereka telah meninggalkan TNI, maka anggota Komponen Cadangan berstatus sipil. Dapat juga diambil sebagai anggota Komponen Cadangan warga negara RI yang secara sukarela menyatakan kesediaannya dan untuk itu memperoleh latihan militer yang diperlukan. Kalau Komponen Cadangan diaktifkan, baik ketika terjadi mobilisasi maupun untuk melakukan latihan berkala, maka status sipil berubah menjadi status militer.
Komponen Cadangan juga meliputi kesatuan mobilisasi. Yang dimaksudkan dengan kesatuan mobilisasi adalah kesatuan militer yang di masa pra-mobilisasi berada sebagai organisasi di atas kertas, dengan dinyatakan secara lengkap dan jelas Tabel Organisasi dan Perlengkapannya (TOP) kesatuan itu. Ditegaskan warga negara mana yang akan mengisi organisasi itu ketika kesatuan itu diaktifkan. Juga jelas dan lengkap setiap peralatan, senjata, mesiu dan bahan bakar yang diperlukan kesatuan ketika diaktifkan. Di masa pra-mobilisasi semua peralatan dan senjata kesatuan itu disimpan di tempat tertentu dengan dikelola organisasi territorial setempat. Ketika kesatuan mobilisasi itu diaktifkan, baik untuk latihan di masa pra-mobilisasi maupun dalam mobilisasi, semua personil yang tercatat sebagai anggotanya menuju ke tempat penyimpanan untuk mengambil senjata dan peralatan yang menjadi tanggungjawabnya dan kesatuan mobilisasi berubah menjadi kekuatan aktif.
Agar supaya Komponen Cadangan dapat berfungsi efektif ketika dilakukan mobilisasi, maka diadakan latihan berkala dan teratur di masa pra-mobilisai, baik untuk anggota Komponen Cadangan maupun kesatuan mobilisasi.
Komponen Pendukung
Komponen Pendukung Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta adalah bentuk lain dari partisipasi Rakyat secara aktif dalam pertahanan. Komponen itu terdiri dari segenap warga negara RI yang secara sukarela menyatakan kesediaannya menjalankan berbagai fungsi dukungan bagi kegiatan yang dilakukan Pemerintah dan TNI dalam rangka pertahanan keamanan.
Komponen Pendukung diarahkan fungsinya oleh organisasi Territorial TNI, tetapi sebagai warga sipil ada di dalam organisasi Pemerintah Daerah. Mereka dapat dibagi dalam fungsi pertahanan sipil (hansip) dan fungsi perlawanan rakyat (wanra).
Yang termasuk Hansip, sudah di masa pra-mobilisasi menjalankan berbagai fungsi yang diatur organisasi Terr untuk menjaga keadaan masyarakat. Seperti menghadapi bahaya banjir dan bencana alam lainnya, kebakaran dan lain fungsi yang bersangkutan dengan keamanan masyarakat. Sedangkan yang termasuk Wanra baru aktif setelah negara diserang secara terbuka dan mempersiapkan diri untuk memberikan dan melaksanakan dukungan kepada kegiatan yang dilakukan TNI melawan Agressor. Wanra terutama penting fungsinya ketika dilakukan pertahanan non-konvensional. Baik Hansip maupun Wanra mendapat latihan yang diberikan organisasi Terr setempat untuk dapat berfungsi efeftif.
Pertahanan terhadap Serangan Non-Konvensional
Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta disiapkan dan dilakukan untuk menjaga kedaulatan Negara Republik Indonesia dan menjamin kemerdekaan bangsa. Adalah sangat mungkin bahwa bangsa yang hendak menguasai atau merugikan Indonesia (untuk selanjutnya kita sebut Agressor) mulai usahanya dengan melakukan Serangan Non-Konvensional berbentuk Perang Intelijen atau Perang Teror atau dua-duanya sekali gus. Sebab kalau dengan cara itu ia dapat mencapai tujuannya akan sangat memudahkannya dan juga menjadi relatif jauh lebih murah.
Perang Intelijen adalah satu bentuk serangan yang terutama dilakukan melalui fungsi intelijen dan tidak menggunakan kekuatan militer secara terbuka. Serangn itu dapat dilakukan dengan berbagai cara yang semuanya dapat dikategorikan sebagai subversi. Biasanya yang menjadi tujuan adalah satu regime change atau pergantian pimpinan pemerintahan yang menguntungkan Agressor. Yang akan diusahakannya adalah membentuk kekuatan dalam negeri yang dapat menurunkan pemerintahan yang ada dan menggantikannya dengan pemerintahan yang sesuai kehendak Agressor.
Agressor dapat menggunakan kebebasan pers yang luas untuk mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Ia akan sekuat dan sejauh mungkin menguasai media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Kenyataan bahwa penyelenggaraan media massa memerlukan dana besar, khususnya Televisi, maka uang merupakan sarana yang penting dalam penguasaan itu. Ia akan mencari penyelenggara media atau orang yang berminat membentuk media yang dapat dipengaruhi, baik karena memang sesuai pikirannya dengan tujuan Agressor, karena ia sangat memerlukan uang untuk menjalankan usahanya atau karena ambisinya menjadi penyelenggara media yang maju. Ambisi ini jauh melebihi kesetiaannya kepada bangsanya sendiri. Keberhasilan Agressor dalam hal itu memungkinkannya untuk membawa dan menyajikan kehendaknya secara teratur kepada masyarakat luas di Indonesia. Pengalaman dan pengetahuan menunjukkan bahwa untuk itu media TV paling efektif. Sekarang dengan perkembangan Internet dan penggunaannya di Indonesia, ini pun amat membantu usaha penetrasi Agressor.
Di samping itu Agressor membentuk organisasi masyarakat atau politik yang pimpinannya dapat diajak memperjuangkan maksudnya. Lebih baik kalau dapat memanfaatkan organisasi yang sudah ada. Juga LSM dapat dimanfaatkannya untuk keperluan mencapai tujuannya, sekurang-kurangnya untuk digunakan menimbulkan gangguan tiada henti kepada masyarakat dengan cara seakan-akan semua selalu serba salah di Indonesia dan merugikan masyarakat. Dengan cara itu terus dikikis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah maupun kepada diri sendiri. Sedangkan organisasi politiknya berusaha menyajikan perubahan politik yang sesuai dengan tujuan Agressor. Juga diusahakan untuk memperluas pengaruh organisasi itu ke organisasi-organisasi lain termasuk organisasi Pemerintah, khususnya TNI dan Polri serta BIN. Sebab pasti Agressor amat berkepentingan mempunyai seorang “Mole” dalam lingkungan pemerintah Indonesia.
Serangan juga dapat dilakukan dalam bidang ekonomi untuk mengacaukan keadaan masyarakat serta menghancurkan kepercayaan kepada pemerintah. Juga bidang budaya dapat dimanfaatkan. Untuk ini peran media massa amat penting untuk mempengaruhi opini dan pandangan masyarakat.
Dari luar Agressor membantu seluruh usaha itu, selain dengan dana, juga dengan personil dan usaha diplomasi yang mempersulit posisi Indonesia. Perkembangan dalam negeri Indonesia dan situasi internasional dimanfaatkan sebaik-baiknya agar Pemerintah RI makin terdesak dan satu saat dapat dikuasai para pengikut dan agen Agressor.
Mungkin ada Agressor yang menganggap tindakan teror lebih efektif untuk membuat masyarakat makin tidak percaya kepada pemerintah dan sebaliknya menjadi tertarik kepada pihak yang membuat teror. Kalau organisasi teror itu berhasil membuat organisasi politik yang memperjuangkan tujuannya atau mempengaruhi organisasi yang ada untuk melakukan itu, maka diusahakan pemerintah dapat dijatuhkan dan kekuasaan diambil para pendukung teror dan Agressor.
Kalau dengan gerakan-gerakan ini tidak dapat dicapai tujuan mereka, maka dicari peluang untuk membangkitkan perlawanan bersenjata terhadap Pemerintah RI. Itu sebabnya penting bagi mereka untuk mempengaruhi TNI, Polri dan BIN. Kalau mungkin dilakukan satu coup d’etat yang cepat maka itu dilakukannnya. Kalau tidak akan dilakukan satu pemberontakan bersenjata yang akhirnya harus menjatuhkan kekuasaan pemerintah RI untuk digantikan kekuasaan mereka. Namun akan mereka usahakan sekuat mungkin agar pergantian kekuasaan tidak memerlukan penggunaan kekerasan senjata seperti pemberontakan.
Kalau Agressor dapat mencapai tujuannya dengan Serangan Non-Konvensional, maka ia tidak perlu melakukan gerakan militer terbuka untuk menyerang Indonesia. Hal demikian jauh lebih murah dan efektif dan tidak ada risiko bahwa dunia internassional menuduh Agressor sebagai pihak yang mengagressi bangsa lain. Bahkan membangkitkan pemberontakan bersenjata masih jauh lebih murah dan mudah buat Agressor dari pada melakukan satu perang terbuka. Mengingat sekarang menjalankan satu perang terbuka dengan berbagai gerakan militernya merupakan usaha yang amat mahal dan tetap mengandung risiko besar seperti terjadi dengan AS di Irak, maka sangat mungkin bangsa yang berambisi menguasai Indonesia akan melakukan Serangan Non-Konvensional itu
Pertahanan terhadap Serangan Non-Konvensional terutama terletak dalam kemampuan Indonesia membangun Daya Tangkal, yaitu membentuk persepsi pada semua pihak bahwa mengganggu Indonesia justru akan lebih merugikan pengganggu. Daya Tangkal ini, selain terwujud dari kondisi TNI, Polri dan Aparat Intelijen dengan kemampuan tinggi dalam menjalankan segenap tugasnya, sangat tergantung pada penyelenggaraan pemerintahan yang efektif (good governance) yang berhasil menciptakan kesejahteraan makin tinggi pada semua rakyat dan menimbulkan keadilan dan ketenteraman bagi seluruh bangsa.
Kondisi harmonis dan gotong royong dalam masyarakat menjunjung tinggi harga dan kebebasan perorangan dalam rangka tertib dan damainya masyarakat. Dengan begitu Pluralisme atau Kemajemukan bangsa Indonesia di satu pihak dan sikap Kebersamaan dan Gotong Royong di pihak lain akan dapat mencegah berkembangnya pertentangan antar-golongan, baik golongan agama, etnik maupun suku bangsa. Dengan begitu individualisme dan liberalisme yang membawa paham kebebasan mutlak dapat ditolak tanpa meniadakan perkembangan prakarsa individu yang penting bagi perkembangan masyarakat.
Daya Tangkal itu harus didukung oleh pelaksanaan pengawasan yang efektif terhadap segala usaha yang dapat merugikan bangsa Indonesia. Untuk itu fungsi Kontra-Intelijen yang dilakukan aparat Intel sangat penting. Juga peran Polri dalam mengawasi keadaan masyarakat. Di samping itu adalah amat penting peran dari Organisasi Territorial TNI dalam memelihara hubungan yang erat antara TNI dengan Rakyat. Peran ini sangat didukung oleh adanya Komponen Cadangan yang sebagai warga negara sipil hidup dalam berbagai bagian masyarakat. Demikian pula Komponen Pendukung yang memperkuat peran organisasi Terr TNI.
Selain kondisi dalam negeri yang stabil dan harmonis Indonesia juga menjalankan politik luar negeri dan diplomasi yang membuat banyak sahabat di antara bangsa-bangsa lain serta menjalankan peran yang aktif dan produktif di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta berbagai lembaga internasional dan regional lainnya. Dengan begitu Indonesia dapat menarik simpati banyak bangsa lain kalau diganggu oleh pihak lain. Indonesia terutama berkepentingan agar ASEAN menjadi organisasi kuat yang mendukung kepentingan Indonesia.
Masyarakat yang makin sejahtera hidupnya dan hidup berdampingan secara harmonis serta diliputi rasa keadilan, dengan dijaga oleh aparat Polri, TNI dan Intel yang tinggi kemampuannya, akan sukar dikalahkan Agressor dengan Serangan Non-Konvensional . Sebab masyarakat demikian akan senang dan bahkan bangga serta percaya kepada negara dan bangsanya sendiri dan selalu akan membelanya kalau diganggu dan diserang. Mungkin saja Agressor dapat mempengaruhi sekelompok kecil orang Indonesia, tetapi kelompok kecil ini akan sukar meluaskan pengaruhnya yang diperlukan untuk menjatuhkan kekuasaan pemerintah.
Namun demikian Pemerintah harus selalu mengawasi agar penetrasi melalui budaya dan informasi tidak dapat merongrong keadaan dalam negeri. Mungkin sekali penetrasi ini merembes secara pelahan, tetapi bagaikan tetesan air yang terus menerus dapat melobangi batu yang keras, demikian pula infiltrasi budaya dan informasi ini harus sangat diwaspadai. Harus benar-benar dijaga bahwa Agressor tidak berhasil membuat “mole” di tubuh bangsa Indonesia, khususnya dalam pimpinan politik, TNI dan aparat Intel.
Pertahanan Konvensional.
Kalau Agressor tidak berhasil menguasai Indonesia dengan Serangan Non-Konvensional, sedangkan ambisinya amat kuat untuk tetap mencapai tujuannya, maka tidak mustahil ia mengambil tindakan melakukan Perang secara terbuka. Berdasarkan pikiran bahwa ia mempunyai keunggulan di berbagai bidang, baik militer, politik maupun ekonomi, ia yakin bahwa Perang tidak akan berlangsung lama dan tujuannya tercapai.
Bahkan tidak mustahil ada bangsa yang pimpinannya begitu ambisieus untuk menguasai Indonesia sehingga tidak mau menggunakan Serangan Non-Konvensional yang masih perlu waktu panjang untuk memberikan hasil nyata. Bangsa dengan sikap dan pikiran demikian akan melakukan Perang Terbuka dan menyerang Indonesia secara militer untuk dapat menguasainya secepat mungkin.
Untuk menghadapi Perang terbuka yang dilakukan Agressor, kita menjalankan Pertahanan Konvensional, yaitu pertahanan yang disiapkan untuk menghadapi ancaman yang bersifat penggunaan kekerasan militer secara terbuka.
Indonesia harus sejauh mungkin mencegah pihak Agressor memasuki wilayah nasional Indonesia. Sebab makin banyak bagian-bagian Indonesia terlibat dalam satu perang terbuka, makin besar kemungkinan terjadinya kehancuran dan kematian pada wilayah dan rakyat Indonesia. Berbagai hasil pembangunan yang berharga dan telah kita wujudkan dengan penuh jerih payah serta biaya banyak dapat hancur karenanya. Rakyat dapat mengalami kematian yang tidak sedikit, seperti yang sudah kita lihat pada bangsa lain yang diserang dengan kekerasan senjata.
Melihat sifat bumi Indonesia dan perkembangan Seni dan Ilmu Perang, maka untuk mencegah itu kita harus mempunyai kekuatan militer, yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang seimbang dan dalam tingkat kekuatan setinggi mungkin di darat, laut dan udara. Itu berarti bahwa kita harus membangun TNI sebagai kekuatan militer professional yang tinggi mutunya.
Bangsa Agressor yang memulai perang dengan menggunakan kekerasan bersenjata tentu mempunyai kekuatan militer yang besar dan kuat. Tanpa itu ia tidak akan berani mulai perang dengan Indonesia yang wilayahnya begitu luas dan penduduk begitu banyak..
Pada umumnya Agressor akan mulai dengan serangan udara, baik ke pusat Indonesia (Jakarta, Jawa) maupun ke sasaran yang langsung akan direbut. Serangan dapat dilakukan pesawat udara maupun dengan peluncuran rudal.
Untuk menghadapi dan menolak serangan itu kita harus mempunyai pertahanan udara yang efektif untuk menetralisasi serangan Agressor. Di samping melakukan pertahanan udara, TNI-AU juga mengadakan operasi serangan udara ke tempat musuh, khususnya tempat peluncuran rudal dan pangkalan udara. Meskipun kita menganut politik pertahanan yang didasarkan strategi defensif, kita dapat menjalankan operasi offensif dalam keseluruhan strategi defensif kita. Operasi serangan udara kita juga dilakukan dengan pesawat udara maupun rudal. Selain itu, operasi serangan udara kita juga ditujukan terhadap pusat pengendalian dan pusat logistik Agressor Keberhasilan operasi serangan udara kita akan besar pengaruhnya terhadap kelanjutan aksi Agressor.
Karena Agressor berkepentingan merebut dan menguasai sebagian wilayah Indonesia, maka selain mengadakan serangan udara Agressor menggerakkan angkatan lautnya untuk menguasai lautan dan perairan Indonesia dan sekitarnya. Dengan penguasaan lautan Agressor dapat menggerakkan kekuatan untuk mendarat di bagian wilayah Indonesia yang hendak dikuasai.
TNI-AL melakukan pertahanan laut dengan melawan gerak angkatan laut Agressor dan mengusahakan agar penguasaan lautan ada di tangan kita. Setiap usaha pendaratan pasukan Agressor diusahakan dibatalkan dari segi laut oleh TNI-AL, sedangkan di segi daratnya dilawan TNI-AD.
TNI-AL juga mengadakan operasi serangan balas dengan melakukan raid ke daerah Agressor untuk menghambat atau membatalkan gerakan angkatan lautnya.
Kalau Agressor mempunyai kemampuan militer yang superior ia mungkin kurang terpengaruh oleh operasi serangan pembalasan TNI-AU dan TNI-AL. Dalam hal demikian ia akan dapat mendaratkan kekuatan daratnya di wilayah Indonesia untuk mencapai tujuan agressinya, baik pendaratan dari laut maupun pendaratan dari udara.
TNI-AD melakukan pertahanan darat dengan melawan serangan darat Agressor untuk membatalkan dan menolak keberhasilannya. TNI-AU dan TNI-AL terus melanjutkan operasi serangan pembalasan, di samping itu TNI-AU memberikan bantuan udara kepada TNI-AD untuk mengalahkan serangan Agressor.
Di samping melakukan berbagai gerakan militer Agressor pasti juga mengusahakan menggerogoti kekuatan masyarakat Indonesia dengan melakukan berbagai macam propaganda dan tindakan politik serta psikologis lainnya. Mereka akan menggerakkan kolonne ke-5 yang sebelumnya disiapkan oleh intelijen mereka dan orang Indonesia yang dapat mereka jadikan agen mereka. Untuk menghadapi itu peran organisasi Territorial sangat penting.
Pertahanan konvensional ini mengusahakan mengalahkan Agressor dalam berbagai pertempuran di darat, laut dan udara, dan mencapai penghancuran Agressor dalam pertempuran menentukan (decisive battle) yang memaksa Agressor untuk kembali ke meja perundingan. Dalam perundingan itu kita harus memaksa Agressor untuk menuruti kehendak kita.
Sejak Agressor mulai agressinya Pemerintah RI mengadakan usaha diplomatik yang aktif di arena internasional. Dewan Keamanan PBB diminta bersidang untuk menghukum tindakan Agressor dan memaksanya mengakhiri serangannya. Sebaliknya, segala propaganda Agressor yang tentu dijalankan untuk menyalahkan Indonesia dan menggunakan berbagai alasan bagi agressinya, harus dapat dipatahkan. Pemerintah RI mengerahkan aksi agar negara-negara yang bersahabat dengan Indonesia dapat memberikan dukungan diplomatik maupun logistik.
Kita usahakan agar melalui pertahanan konvensional dan usaha diplomasi Agressor dapat dihentikan geraknya mengagressi Republik Indonesia. Akan tetapi kita harus siap bahwa kecepatan gerak Agressor dapat melampaui gerak proses diplomasi. Maka kita harus siap bahwa gerakan Agressor menguasai wilayah Indonesia makin luas dampaknya. Untuk itu pertahanan konvensional harus beralih atau dibarengi pertahanan non-konvensional kalau yang pertama tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan dalam menghentikan gerak Agressor.
Dalam tahap Pertahanan Konvensional peran Rakyat adalah menjaga semangat dan daya perlawanan yang tidak mengenal menyerah. Mengingat pentingnya semangat dan daya perlawanan yang menjadi kunci pertahanan bangsa, maka Agressor akan melakukan berbagai aksi yang melemahkan daya perlawanan itu agar Rakyat menjadi lemah dan mendesak Pemerintah untuk tunduk kepada kehendak Agressor.
Pemboman dari udara yang dilakukan Agressor, baik dengan menggunakan pesawat terbang maupun dengan rudal, mungkin tidak cukup dapat dinetralisasi oleh pertahanan udara TNI. Akibatnya akan besar berupa kehancuran dan kematian Rakyat, terutama di kota-kota. Selain itu Agressor akan melakukan aksi propaganda, baik dengan menyebarkan pamphlet melalui udara maupun melalui siaran radio dan televisi, yang sukar dibatalkan. Juga usaha Agressor untuk membentuk kekuatan kolonne ke-5 dalam masyarakat Indonesia belum tentu dapat digagalkan oleh aparat kita. Ini semua bertujuan melemahkan daya perlawanan Rakyat dan mempercepat keberhasilan Agressor dalam menundukkan kehendak bangsa Indonesia agar turut kepada kehendaknya. Hal itu semua menunjukkan betapa pentingnya peran Rakyat dalam Pertahanan serta org Terr yang menghubungkan Rakyat dengan TNI.
Peran organisasi Terr TNI dan Komponen Pendukung yang membantunya sangat penting dalam menjamin semangat dan daya perlawanan rakyat. Kalau produksi nasional harus terus dilanjutkan untuk memperkuat kemampuan pertahanan, baik dalam pertanian maupun industri, peran itu penting untuk menjaga agar disiplin masyarakat tetap tinggi dan produksi berjalan efektif. Komponen Cadangan juga sudah diaktifkan sebagai kekuatan TNI sejak Pemerintah mengumumkan mobilisasi setelah Agressor mulai serangannya.
Indonesia harus menyusun Pertahanan Rakyat Semesta yang pada tahap pertama mempunyai kemampuan pertahanan konvensional yang cukup tinggi untuk dapat menolak dan mengalahkan agressi yang dilakukan semua negara. Namun secara obyektif akan sulit sekali bagi Indonesia untuk membangun pertahanan konvensional yang efektif terhadap negara adikuasa seperti AS. Akan terlalu berat kalau sudah langsung kita membangun pertahanan konvensional yang mampu menolak agressi satu negara adikuasa. Baik kekuatan ekonomi dan industri kita masih harus kita bangun maupun pendidikan nasional masih harus kita tingkatkan sebelum kita dapat membangun TNI dengan kemampuan pertahanan konvensional setinggi itu.
Akan tetapi terhadap semua negara yang bukan adikuasa dapat dibangun kemampuan pertahanan konvensional yang dapat menolak dan mengalahkan agressi mereka. Kalau pun mereka mampu melakukan pandaratan pasukannya di bagian wilayah Indonesia melalui pendaratan dari laut atau operasi lintas udara, pendaratan itu harus dapat segera kita kalahkan.
Pertahanan Non-konvensional.
Di samping melakukan pertahanan konvensional, kita juga harus dapat melakukan pertahanan non-konvensional. Pertahanan non-konvensional berinti kepada kekuatan rakyat terorganisasi bersama TNI. Pertahanan ini terutama penting untuk menghadapi serangan yang dilakukan satu negara adikuasa yang sukar kita hadapi dengan pertahanan konvensional.
Untuk itu organisasi territorial TNI memungkinkan TNI bersama Rakyat menjalankan pertahanan wilayah. Pertahanan wilayah adalah pertahanan yang mendayagunakan segenap potensi satu wilayah untuk digunakan melawan Agressor. Salah satu syarat amat penting untuk keberhasilan pertahanan wilayah adalah menjaga dan memelihara hubungan yang dekat dan terus menerus antara TNI dan Rakyat.
Melalui pertahanan wilayah bangsa Indonesia mengusahakan agar tidak digerogoti dari dalam tubuhnya sendiri oleh bangsa atau kekuatan lain. Untuk itu organisasi territorial disusun sejajar dengan organisasi pemerintah sipil dan mempunyai kewajiban membantu pemerintah sipil menjamin pengendalian wilayah yang menjadi tanggungjawabnya. Dengan begitu selalu ada kemampuan untuk menghadapi dan menetralisasi berbagai usaha pihak lain yang merugikan kepentingan RI.
Pertahanan wilayah juga penting ketika pertahanan konvensional yang dilakukan TNI tidak dapat menolak penguasaan wilayah Indonesia oleh Agresor.
Ketika Agressor menguasai wilayah tertentu di Indonesia, maka pertahanan wilayah berusaha terus menerus merugikan kekuatan Agressor. Pertahanan wilayah dapat dilakukan karena Agressor tidak mungkin dapat menguasai seluruh wilayah. Paling-paling yang dikuasai adalah kota-kota atau bagian wilayah yang amat penting, karena ia tidak mungkin menyediakan kekuatan militer yang cukup banyak untuk menduduki seluruh wilayah.
Prinsip pertahanan wilayah adalah untuk menguasai wilayah Indonesia yang tidak diduduki Agressor, sehingga menjadikan posisi Agressor bagaikan pulau-pulau dalam lautan luas. Lautan luas itu adalah wilayah Indonesia yang dikuasai Pemerintah RI dengan kekuatan yang intinya adalah Rakyat Indonesia bersama TNI. Untuk keperluan itu organisasi territorial mempersiapkan pasukan-pasukan territorial.
Agressor akan berusaha untuk mempengaruhi Rakyat agar berpihak kepadanya, sehingga dengan demikian Pemerintah RI dan TNI kehilangan satu bagian penting dari pertahanan wilayah. Itu sebabnya organisasi territorial mempunyai fungsi penting untuk selalu memelihara hubungan yang erat antara TNI dengan Rakyat. Sedangkan Pemerintah menjalankan pemerintahan yang sesuai kepentingan Rakyat sehingga tidak mungkin dipengaruhi oleh propaganda Agressor.
Pertahanan wilayah terus menerus berusaha menguras kekuatan Agressor. Untuk itu pasukan TNI yang berada dalam pertahanan wilayah melakukan berbagai aksi militer yang sebanyak mungkin merugikan kekuatan Agressor. Selama kekuatan militer Agressor superior terhadap kekuatan TNI, tidak mungkin dilakukan operasi militer yang memukul Agressor secara menentukan. Sebab itu aksi militer dalam pertahanan wilayah mengusahakan agar kekuatan militer Agressor terus berkurang sehingga satu saat terjadi perimbangan kekuatan yang menguntungkan TNI untuk dapat melakukan pertempuran dan serangan balas yang menentukan.
Aksi mengurangi kekuatan pendudukan Agressor adalah dengan taktik gerilya, yaitu menyerang musuh secara mendadak dan menimbulkan sebanyak mungkin kerugian kepadanya, kemudian dengan cepat meninggalkan lokasi pertempuran sebelum Agressor dapat mengerahkan kekuatan untuk memukul pasukan kita (hit and run tactics). Selain serangan itu dilakukan terhadap pos-pos kedudukan Agressor juga diadakan pencegatan (ambush) terhadap gerak-gerik Agressor di jalan-jalan yang menghubungkan kedudukannya. Dalam melaksanakan taktik gerilya secara luas peran pasukan territorial penting sekali, karena jumlah pasukan mobil TNI mungkin tidak mencukupi untuk melakukan gerilya di semua wilayah pendudukan secara luas. Sekalipun TNI melalui mobilisasi memperbesar jumlah anggotanya dan mengaktifkan kesatuan mobilisabel.Di sini menonjol peran dari Komponen Pendukung untuk berfungsi sebagai kekuatan para-militer.
Apabila Agressor mengadakan aksi militer dengan kekuatan besar untuk memukul anggota Pemerintah RI, pasukan TNI dan Rakyat, seluruh kekuatan kita harus menghindari pertempuran yang mungkin sekali lebih menguntungkan pihak Agressor. Untuk itu anggota Pemerintah yang ada di wilayah itu serta TNI dan Rakyat menghilang dengan memanfaatkan berbagai keadaan alam dalam wilayah sehingga Agressor gagal mencapai tujuannya. Kegagalan menemukan dan memukul kekuatan RI menimbulkan rasa kejengkelan pada pasukan Agressor, dan kalau terjadi berkali-kali malahan menimbulkan demoralisasi para anggota pasukannya. Aksi Agressor hanya dilawan kalau kekuatan TNI lebih besar dan kuat dari kekuatan Agressor yang menjalankan aksi, sehingga perlawanan kita menimbulkan banyak kerugian pada Agressor, baik kerugian fisik, material maupun moral.
Dalam setiap bagian wilayah Indonesia yang diduduki Agressor harus diusahakan agar satu saat TNI dapat beralih kembali kepada pertahanan konvensional dan mengadakan serangan balas yang menghancurkan kekuatan Agressor di wilayah itu. Dengan begitu akhirnya Agressor tidak dapat lagi bertahan di wilayah Indonesia. Kondisi demikian harus dimanfaatkan oleh diplomasi Pemerintah RI untuk memperoleh pengakuan kekalahan Agressor dan menuntut pembayaran atas segala kerugian yang telah dilakukan terhadap bangsa Indonesia. Diplomasi kita juga harus mempengaruhi keadaan internasional agar makin banyak negara turut menekan Agressor agar mengaku kalah.
Dapat juga terjadi bahwa TNI kurang berhasil mengadakan peralihan kembali ke pertahanan konvensional untuk melakukan serangan balas yang menentukan. Dalam hal demikian aksi gerilya harus ditingkatkan lebih hebat di seluruh wilayah yang diduduki Agressor sehingga menimbulkan kerugian makin besar terhadap Agressor, terutama dalam kekuatan jumlah dan moral personilnya. Harus dicegah dengan segala cara Agressor dapat mencapai Kemenangan Perang dan Kemenangan Damai yang penting bagi tujuan politiknya. Hal itu harus digunakan sebagai leverage oleh diplomasi Pemerintah RI dalam percaturan internasional untuk mengundang campurtangan internasional agar dapat memaksa Agressor keluar dari Indonesia dan membayar kerugian yang telah ditimbulkan. Juga sangat penting usaha Indonesia untuk mempengaruhi masyarakat negara Agressor untuk mendesak pemerintahnya agar menghentikan agressinya karena makin banyak warga negaranya menjadi korban sia-sia dalam perang yang tidak akan dapat dimenangkan pihak Agressor.
Untuk memperkuat aksi diplomasi itu harus ada gerakan intelijen yang menimbulkan kegelisahan di dalam masyarakat Agressor berhubung makin banyak kehilangan sanak saudaranya dalam serangannya ke Indonesia.
Diplomasi harus mencapai hasil maksimal bagi RI dan selama itu belum tercapai, gerilya pasukan kita dilanjutkan dan ditingkatkan untuk meningkatkan leverage diplomasi kita secara internasional.
Pembangunan Tentara Nasional Indonesia
Untuk dapat melakukan pertahanan yang efektif kita memerlukan kondisi TNI yang kuat dalam material (peralatan dan persenjataan) maupun personil, baik TNI-AD, TNI-AL maupun TNI-AU.
Kekuatan material banyak dipengaruhi kekuatan ekonomi, khususnya industri, dan keuangan bangsa. Memperhatikan perkembangan ekonomi Indonesia, maka kondisi TNI yang kuat dalam material masih memerlukan waktu yang tidak singkat. Sekalipun demikian, adalah kewajiban setiap Pemerintah RI untuk mengusahakan agar pembangunan TNI dalam tahap pertama Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta dapat dicapai secepat mungkin, yaitu kemampuan melakukan pertahanan konvensional yang dapat menolak dan mengalahkan agressi oleh negara bukan-adikuasa. Dengan begitu TNI dapat menjalankan fungsinya secara semestinya dalam perkembangan internasional guna membela kepentingan RI.
Indonesia harus membangun Industri Pertahanan yang makin lama makin mampu memproduksi dan menyediakan segala keperluan peralatan dan persenjataan TNI. Selain itu Pemerintah RI membentuk persahabatan dengan negara lain untuk memasok peralatan dan senjata yang belum dapat dibuat Indonesia sendiri. Untuk menjaga agar kemandirian pertahanan dapat terwujud, perlu diusahakan agar kerjasama dengan negara lain itu juga menyangkut kerjasama membangun produksi alat dan senjata itu di Indonesia.
TNI juga memerlukan kekuatan personil yang memadai. Di waktu tidak ada masalah atau kemungkinan agressi terhadap Indonesia, TNI berada dalam kekuatan minimal efektif sebagaimana sudah diuraikan. Hal ini penting agar dalam keterbatasan anggaran pertahanan dapat dibatasi pengeluaran untuk personil, sehingga dapat dilakukan pengadaan peralatan dan senjata sesuai rencana. Selain itu personil TNI dapat diberi pendidikan dan latihan yang baik serta memperoleh penghasilan dan kesejahteraan hidup yang menjamin semangat kerja dan perjuangan tinggi. Jumlah personil yang tepat untuk TNI sangat penting bagi pengelolaannya menjadi tentara pejuang dengan mutu professional yang diperlukan.
Personil TNI itu dibagi dalam jenis personil sukarela dan personil wajib militer. Personil sukarela adalah warga negara RI yang secara sukarela masuk dalam TNI untuk waktu lama. Sedangkan personil wajib militer adalah warga negara RI yang menjadi anggota TNI dalam satuan waktu tertentu sesuai dengan Undang-Undang Wajib Militer yang disusun dan berlaku untuk bangsa Indonesia sesuai ketentuan UUD 1945.
Personil milsuk dan personil wamil setelah selesai masa tugasnya, meninggalkan TNI dan masuk dalam Komponen Cadangan. Dengan begitu kita dapat membangun TNI yang di masa non-perang bersifat relatif kecil, tetapi dalam masa darurat dan perang dapat diperbesar melalui mobilisasi menjadi kekuatan yang besar. Agar supaya TNI selalu mempunyai kemampuan yang tinggi, maka baik personil sukarela maupun personil wamil dibentuk, dididik dan dilatih menjadi tentara professional.
Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta memerlukan banyak latihan oleh kesatuan TNI yang aktif maupun kesatuan mobilisasi. Sebab itu dapat dikatakan bahwa kegiatan utama TNI dalam kondisi non-perang adalah melakukan maneuver dan latihan kesatuan. Dengan begitu semua unsur TNI, baik Staf Umum di Markas Besar TNI maupun semua unsur Komando Operasi, sudah dibiasakan untuk melakukan kegiatan yang harus terjadi kalau ada agressi negara lain. Kondisi TNI demikian juga sangat bermanfaat kalau dalam masa non-perang terjadi satu masalah dalam negeri dan Pemerintah menetapkan agar TNI memberikan bantuannya kepada Polri sebagai penganggungjawab utama. Juga amat penting untuk setiap saat menyediakan kekuatan TNI membantu masyarakat menghadapi kondisi bencana yang sekarang begitu sering terjadi dengan tiba-tiba.
Dengan menyiapkan Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta secara baik dapat diwujudkan Daya Tangkal yang efektif, baik terhadap negara lain yang mempunyai ambisi menjadi Agressor maupun terhadap unsur dalam negeri yang mempunyai keinginan jahat. Dan kalau Daya Tangkal tidak mengurangi ambisi mereka untuk mengganggu dan menyerang Indonesia, Pertahanan Rakyat Semesta akan menghancurkan segala usaha mereka dengan kemampuan perlawanan yang efektif.